FAJAR.CO.ID,MAKASSAR-- Belum lama ini, Menteri Kesehatan RI, Terawan Agus Putranto mengatakan rapid tes tidak direkomendasikan lagi untuk mendiagnosa orang yang terinfeksi Covid-19.
Pernyataan itu, tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.
Melihat hal itu, Pakar Epideomologi Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Ridwan Amiruddin, sepakat dengan peraturan tersebut. Hanya saja, kata dia, dalam menggunakan PCR untuk mendiagnosis orang yang terinfeksi Covid 19, dibutuhkan pembiayaan yang cukup besar.
"Sebenarnya, tantangannya di pembiayaan, bisa lebih mahal lima kali lipat, butuh teknologi tinggi, butuh waktu yang lama, PCR kan mahal bisa sampai satu juta lebih untuk satu spesimen," ucapnya saat dikonfirmasi fajar.co.id.
Sebelumnya aturan Kemenkes tersebut, dikatakan pada kondisi dengan keterbatasan kapasitas pemeriksaan RT-PCR, rapid tes hanya dapat digunakan untuk skrining pada populasi spesifik dan situasi khusus, seperti pada pelaku perjalanan.
WHO menyarankan pemerintah, agar pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien yang terduga terinfeksi COVID-19 menggunakan Metode deteksi pemeriksaan RT-PCR.
Bahkan, sebelum adanya aturan Kemenkes Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020, beberapa ahli kesehatan tidak merekomendasikan rapid tes untuk digunakan mendiagnosa orang orang yang terinfeksi Covid 19. Namun, pemerintah bersikeras untuk tetap melakukan rapid tes khususnya bagi yang akan melakukan perjalanan antar daerah, provinsi maupun negara.