Oleh: Damar Tri Afrianto (Dosen di Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Sulsel)
FAJAR.CO.ID -- Indonesia pascakemerdekaan justru memperlihatkan realitas dalam suasana ketegangan sosial; kesenjangan status sosial yang semakin terlihat, hasrat idealistis individu dan kelompok, gejolak emansipatif hingga traumatik peperang. Gambaran kehidupan tersebut dipotret dalam kemasan drama berjudul “Awal dan Mira” karya sastawan Utuy Tatang Sontani. Karya sastra berunansa sosialis tersebut, berlatar tahun 1951, di sebuah kedai kopi sederhana milik seorang gadis cantik bernama Mira. Bisa dimaklumi apabila para lelaki datang ke situ bukan semata-mata untuk segelas kopi. Mira adalah magnet bagi mereka. Di antara mereka ada seorang idealis yang jadi korban dampak sosial pada masa awal kemerdekaan yaitu disimbolkan tokoh Awal. Drama Awal dan Mira merupakan dialektika sejarah pasca kolonialisme dengan gaya roman picisan
Naskah klasik itu bisa jadi telah ribuan kelompok teater yang mementaskan, dengan pandu gaya realisme dalam naskah, setiap kelompok teater mampu mengembangkan pola adegan, dialog, hingga menginterpretasi dan mengintegrasikan dalam kultur budaya. Integrasi kultural kali ini menjadi pendekatan kelompok Kala Teater Makassar dalam mengintensifkan diri dalam pembacaan naskah Awal dan Mira dalam ajang Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF) 2020 dengan tajuk “Politik Bahasa”. Kala Teater Makassar melalui metode dramatic Reading melakukan alih wahana teks ke dalam dialek popular khas Makassar.Tentu ini bukan semata-mata untuk mendekatkan naskah ini pada suatu kerangka bahasa tertentu, tapi lebih dari itu, ada kepercayaan akan teks-teks yang merdeka di tangan pembaca akan menjadi lebih ‘hidup’.