Di luar persoalan teknis tersebut, apa yang dibawakan Kala Teater Makassar dalam pertunjukannya mencoba memahami makna suatu karya dengan menyusun kembali makna-makna yang tersebar dengan pendekatan kultur terutama dialek, tentu untuk memberikan ruang atensi yang lebih lapang bagi diseminasi makna dan pluralitas teks, Kala Teater mencoba memilah-milah penanda-penanda pada wacana naratif ke dalam serangkaian fragmen dialek Makassar. Teks ‘Awal dan Mira’ kemudian lahir dengan setting dan waktu yang telah masuk dalam kerangka budaya. Pada titik ini persoalan identitas kultural menjadi hal yang akan ditawarkan. Teks dimata pembaca memiliki fungsi dan kemerdekaan untuk ditransformasikan dengan harapan untuk di ‘hidupi’
Metode Kala Teater ini sejalan dengan pemikiran tokoh semiotika Roland Barthes yang menginterupsi bahasa sebagai struktur homogenitas. Barthes melihat adanya peran pembaca (the reader) dengan tanda yang dimaknainya. Dia berpendapat bahwa pada tingkat “konotasi”, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Kaktifan membaca inilah yang digaris bawahi Barthes dengan tujuan menghidupi teks. Ketika teks terlahir, maka pengarang itu telah ‘mati’. Dia lantas digantikan oleh pembaca yang bebas menafsirkan teksnya, begitulah konsep Bathes dalam membangkitkan pembaca. Sangat mungkin pendekatan Kala Teater membawa naskah “Awal dan Mira” ke dalam sebuah dimensi kultutal tertentu, karena teks yang menjadikan pembaca atau teks-teks sebagai pusat penciptaan. Dengan kata lain, dramatic Reading Kala Teater menadai kembali munculnya apa yang disebut oleh Roland Barthes sebagai kekuatan pembaca (reader’s power).