”Tahun kemarin (2020), adaji 30 ribu, 40 ribu, biasa juga 50 ribu lebih. Sama makan mi anak-anak, beli bakso apa. Ongkos pete-pete juga,” Daeng Intang mengenang pengalamannya tahun lalu.
Untuk hari ini, saat bayangan mulai sejajar dengan ubun-ubun, Daeng Intang hanya mampu mengumpulkan 16.000 pundi-pundi rupiah dari belas kasih pengunjung Klenteng Xian Ma.
”Ini adami, tapi baru 16 ribu. Yang penting bisa pakai bayar pete-pete pulang sama anak-anak ini,” ia membeberkan pendapatannya siang tadi.
Daeng Intang sendiri sedikit dilema ketika ditanya soal pekerjaannya. Ia malu, tapi tidak banyak pilihan lain, bahkan nyaris tidak ada. Satu-satunya hal yang menguatkan ia melakukan rutinitasnya, tidak lain karena alasan perut.
Tinggal di kota paling tersohor di Indonesia Timur tanpa pendapatan tetap dan mencukupi, tentu menjadi hal yang sangat berat. Tetapi, ia harus terus bertahan hidup, setidaknya memastikan keenam cucunya bisa makan, sekalipun kerap telat.
”Saya ngontrak di jalan Bontoduri 10 sama enam cucu saya. Masih kecil semua. Mereka sekolah. Tapi biasanya ya harus minta-minta juga untuk makan. Bapaknya sudah meninggal, kakeknya juga," jelasnya.
”Biasa kalau pulang sekolah, cucu saya mampir di masjid. Ikut salat. Kalau ada yang mengerti ya dikasih, tapi kalau tidak ya tidak dapat uang makan,” Daeng Intang bercerita.
Waktu menunjukkan pukul 16.00. Pandemi Covid 19 membuat pengelola menutup Klenten Xian Ma lebih cepat. Artinya Daeng Intan harus beranjak.
Pendapatan hari ini tetap ia syukuri. Ia bersama cucunya meninggalkan Klenteng Xian Ma. Dibantu cucunya ia menaiki mobil Pete-pete warna biru. Meninggalkan Jalan Sulawesi dan keriuhan pernak pernik warnah merah. (ikbal/fajar)