Menurutnya, pengelolaan sampah yang dipihak ketigakan pada dasarnya berdampak pada pengusaan sepenuhnya terhadap barang tersebut. Hal itu pun diatur dalam perjanjian. Akan tetapi, saat kesepakatan itu sudah habis, maka seluruh alat pembakaran menjadi milik pemerintah.
"Jadi jangan lihat hasil sampingan berupa listriknya, tetapi sampah yang berhasil dibersihkan. Sehingga pada pada suatu saat sampah akan habis. Itu yang jadi fokus utama," aku Dosen Teknik Lingkungan Unhas ini.
Sementara itu, Dosen Kesehatan Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat FKM Universitas Muslim Indonesia (FKM UMI), Alfina Baharuddin menambahkan, dalam penelitiannya ada pencemaran mikroplastik pada ikan dan garam.
Berdasarkan data dari World Bank, produksi plastik global saat ini diperkirakan 300 ton per tahun. Sementara polusi plastik di lingkungan laut termasuk pantai diperkirakan 9,5 ton per tahun. Hal ini setara dengan dump truck plastik yang memasuki lautan setiap menit.
"Pengelolaan sampah tidak boleh asal, karena akan mencemari lingkungan. Dan itu sudah terjadi di Makassar, utamanya mikro plastik dan pencemaran air dan tanah di sekitar TPA," akunya.
Langkah yang banyak dilakukan di negara maju, adalah proses pemilahan jenis sampah. Mereka akan membuangnya di tempat berbeda. Sampah yang bisa didaur ulang akan diolah menjadi baru. Sampah organik pun diolah menjadi pupuk atau bahan bakar lain.
"Jangan semua sampah dibuang di TPA yang tidak ada pengolahannya. Jika itu dilakukan akan menimbulkan gundukan sampah," tutupnya. (*/fajar)