Selanjutnya, Prof Jamaluddin mengelaborasi mengenai konsep tragedy of common yang menjadi kerangka analisis persoalan pengelolaan konflik di wilayah pesisir. Keterbatasan wilayah bumi berbanding terbalik dengan pertumbuhan penduduk yang terus bertambah. Hal ini kemudian diperparah dengan dampak perubahan iklim dimana permukaan air laut terus bertambah dan membuat beberapa pulau akan memiliki luas yang berkurang bahkan tenggelam. Hal ini tentu akan menjadi potensi konflik horizontal ke depan.
Selain itu, dalam pemanfaatn wilayah bersama, umumnya manusia yang mengelola berusaha mengeksplorasi sumber daya semaksimalnya tanpa mempertimbangkan dampak buruk pada alam dan keberlanjutannya. Sebagai contoh praktek pengeboman dan pembiusan yang dilakukan nelayan akan merusak ekosistem karang dan ikan. Hal yang sama dengan penggunaan jaring yang menangkap ikan lebih kecil oleh perahu besar melahirkan kondisi ketidaksetaraan pengelolaan laut antara nelayan kecil dan nelayan dengan modal lebih besar.
Prof Jamaluddin menawarkan solusi pengelolaan wilayah pesisir berbasis komunitas dengan memelihara terumbu dan mengatur sistem penangkapan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Prof Farida menjelaskan konteks hukum dengan fokus pada memastikan masyarakat adat mendapatkan perlindungan hukum dalam pengelolaan wilayah pesisir. Secara detail Prof Farida memberikan perbedaaan antara masyarakat lokal dan masyarakat adat untuk memahami konteks aplikasi hukum pada penataan wilayah pesisir. Prof Farida menegaskan bahwa kebijakan hukum pengelolaan wilayah pesisir masih membutuhkan penjelasan lebih detail. Sebagai contoh adalah pemberian ganti rugi yang tidak spesifik. Selain itu, pemberlakuan hukum cenderung tidak konsisten. Sebagai contoh perbedaan perlakuan hukum pada pengelolaan pulau yang menjadi hak miliki dan pemberiah hak pengelolaan.