Dalam diskusi berkembang identifikasi akar masalah ketimpangan penataan wilayah pesisir yang selanjutnya rentan memicu konflik. Salah satunya adalah perubahan pemberian kewenangan pengelolaan pesisir dan laut yang sebelumnya diberikan ke pemerintah kabupaten/kota kemudian menjadi kewenangan provinsi.
Menurut Prof Jamaluddin, perubahan kewenangan ini disebabkan karena wilayah pesisir memang sebaiknya diatur dalam jenjang yang lebih luas. Beberapa kasus konflik sebelumnya terjadi karena klaim antar wilayah kabupaten/kota dan memicu pertentangan antar wilayah dan melibatkan masyarakat. Meskipun demikian, pemberian wewenang pengelolaan ke pemerintah provinsi tidak dibarengi dengan komitmen pemerintah provinsi dalam mengatur dan mengawasi pemanfaatan wilayah pesisir.
Terlihat kurangnya komitmen Pemerintah Provinsi dalam mengalokasi sumberdaya manusia dan finansial mendukung pemerintah kabupaten/kota serta kelompok masyarakat untuk memastikan wilayah pesisir dan pulau dapat terkelola dan tertata sesuai peraturan hukum yang berlaku dan lebih berkelanjutan.
Untuk memastikan wilayah pesisir dan laut Indonesia menjadi anugrah untuk warga masyarakat Indonesia, diperlukan kolaborasi multipihak untuk menjaga dan memastikan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut lebih dimaksimalkan untuk kesejahteraan warga. Untuk itu, penegakan hukum atas semua tindakan destruktif yang merusak ekosistem laut juga diperlukan. Serta pemerintah provinsi sebagai pemilik kewenangan pengelolaan wilayah pesisir dan laut perlu menunjukkan komitmennya untuk melenyapkan kutukan konflik dan kerusakan sumberdaya pesisir dan laut Indonesia. (rls)