"Kalau Toko Agung merasa sudah membayar (pajak) ke Bapenda dan tak lagi ingin bayar biaya parkir ke PD Parkir, itu persoalan lain. Mereka tetap harus bayar biaya parkir karena memakai fasum," tegasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Koordinator Parkir Toko Agung, Maradona Aprilla Wolff meminta agar PD Parkir tidak meminta biaya dan mengklaim merugi atau bocor terkait biaya parkir di area toko yang dikuasainya. Hal itu salah besar.
Biaya parkir, menurutnya, sudah dibayarkan ke Bapenda. Dalam hal ini pajak parkirnya. Karena itu, ia berharap PD Parkir berkoordinasi dengan Bapenda. Kisruh ini harus dibahas bersama.
Ia pun berharap, PD Parkir tidak main serobot dengan alasan jukir tak berhak mengelola parkir di area toko itu. "Kalau ada yang salah, jukir selalu jadi kambing hitam. Kalau klaim itu trotoar, memangnya PD Parkir yang cor jalanan. Bukan toh," kata pria yang juga Ketua Serikat Juru Parkir Makassar (SPJM).
Menurutnya, andai ingin berhitung, persoalan parkir sudah sepatutnya dikelola Bapenda. Bukan lagi PD Parkir. "Tidak ada guna-gunanya itu PD Parkir. Tidak jelas laporannya. Kalau kami mau tahu berapa penghasilan per bulan PD Parkir pasti tidak bisa. Sebab, mereka main ambil setoran saja. Beda kalau Bapenda, kuitansinya jelas," bebernya.
Fenomena turunnya penerimaan pajak dari Toko Agung, menjadi atensi Peneliti Senior Kopel Indonesia, Herman. Menurutnya, potensi pajak parkir dimainkan menjadi sangat besar. Sebab, pengelolaannya masih manual. Bukan dalam jaringan (online).
Belum lagi, kata dia, besaran pajak parkir yang harus ditanggung sebuah toko atau perusahaan, lahir dari sebuah kesepakatan. Bukan berdasarkan peraturan yang ada. Misalnya, 10 persen untuk pajak penghasilan dan 30 persen pajak parkir.