Dugaan Skandal Tanah di Marusu

  • Bagikan
Kompleks Pergudangan 88 di Jalan Ir Sutami, Senin, 29 Maret. ABE BANDOE/FAJAR

Buku Letter C ini merupakan satu poin penting dalam persyaratan pengurusan sertifikat jika yang dimiliki sebagai bukti awal kepemilikan hak atas tanah itu hanya berupa girik, ketitir, atau petuk.

Pakar Hukum Administrasi Negara UNM, Herman mengurai dengan menceritakan ketentuan mengenai agraria yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dan diundangkan pada tanggal 24 September 1960 dalam Lembaran Negara Nomor 104 Tahun 1960.

Menurutnya, hal yang melandasi dibentuknya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) adalah Pancasila dan Pasal 33 ayat 3 UUD 45. Berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Karena itu, dua hal pokok dari pasal di atas itulah menjadi dasar negara telah diterima untuk ikut campur dalam pengaturan sumber daya alam sebagai alat produksi dan pengaturan tersebut adalah dalam rangka untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Lahirnya UUPA sekaligus menjadikan seluruh kebijakan-kebijakan pertanahan di era pemerintahan kolonial belanda ditinggalkan. Akan tetapi, perpindahan administrasi dari Inspektorat Daerah (Ipeda) ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) sejak terbitnya UUPA tidak berlangsung dengan baik. Banyak blanko kosong pertanahan yang digunakan oknum mafia tanah.

Oknum mafia tanah inilah yang bekerja sama dengan oknum pegawai sehingga menerbitkan surat keterangan kepemilikan. "Sebelum administrasi pindah di BPN, surat rincik atau kebo itu adalah bukti pajak dan kepemilikan. Tetapi, setelah UUPA dan dikelola BPN yang diakui sebagai bukti kepemilikan adalah sertifikat," katanya.

  • Bagikan