Bicara local pride, sedikit berbeda bagi PSM Makassar. Karena disitu melekat etos siri’ na pacce (berani tarung demi harga diri,red). Daya juang anak-anak Bugis Makassar itu oleh G.H.van Soest digambarkan sebagai representasi jiwa kepahlawanan Nusantara.
Epos kepahlawanannya tertuang dalam I La Galigo, sebuah epik mitos penciptaan dalam bentuk sajak bersuku lima,ditulis dalam antara abad 13-15, dengan ketebalan lebih dari 6000 halaman yang menjadikannya karya sastra terbesar di dunia.
Tentu, pola dasar karakter Bugis Makassar seperti itu tak seperti kode genetik yang bisa otomatis diturunkan. Pandangan dunia dan etos ‘siri’-nya perlu direaktualisasi dan direorientasi. Semangatnya tak sekadar berani berkelahi, tapi juga tegar pertahankan prinsip yang luhur. Daya juangnya bukan sekadar menyerang-menerjang, tapi juga punya arah yang sifatnya membangun dan menumbuhkan.
Epos kejuangan Bugis Makassar perlu terus menjaga keseimbangan antara keberanian patriotisme “reaktif-defensif” ala Arung Palakka dan Sultan Hasanuddin dengan ketajaman visi patriotisme “positif-progresif” ala Sultan Mahmud Karaeng Pattingaloang.
Refleksi Kritis
Betapapun publik tercengang dengan spirit local pride yang mewarnai turnamen Piala Menpora 2021, namun tak cukup hanya sekadar pujian. “Tapi harus diingat dalam sebuah pertandingan sepakbola, kesabaran adalah kunci kemenangan,” ujar legenda hidup sepakbola Makassar, Syamsuddin Umar, mengingatkan.
Mantan pemain PSM Makassar yang sukses meniti karir sebagai pelatih dan pernah dikirim PSSI berguru ilmu sepakbola di Brazil bersama Rusdy Bahalwan (legenda sepakbola Surabaya) ini menguraikan, banyak ‘young player’ suatu tim yang kerap bernafsu ingin cepat “cetak gol” karena tergoda selebrasi dan yel-yel pujian. Memang semua orang ingin menang. Namun ketidaksabaran itu awal kekalahan yang justru merugikan tim.