Lebih jauh ia mengatakan, materi peduli lingkungan sosial yang diajarkan guru sekolah baru sebatas teori di dalam kelas. Belum ada implementasi nyata seperti apa bentuk kepedulian tersebut di lingkungan mereka.
“Nah, kenapa ini harus dipraktekkan secara langsung, karena kita ingin membekali anak-anak kepedulian nyata di lapangan. Anak-anak tidak boleh diajar mengkhayal, tapi harus diajar secara nyata, bentuk peduli itu seperti apa,” imbuhnya.
Sementara itu, Tim Verlap KIPP Sulsel, Dermayana Arsal, menyebut inovasi Kebun Si Pintar seperti memindahkan praktek KKN dari Perguruan Tinggi ke Sekolah Dasar.
Ada transfer ilmu di dalamnnya. Anak SD bercocok tanam, hasilnya bukan lagi untuk guru, tetapi untuk warga kurang mampu. Tentu pelaku KKN bukan mahasiswa, melainkan anak-anak SD.
“Ini seperti KKN, cuma tingkatnya di tingkat SD, bukan perguruan tinggi, seperti KKN cilik kalau kita mau sebut begitu,” kata Dermayana.
Ia pun menyarankan agar inovasi ini melibatkan stakeholder terkait lainnya, seperti Dinas Ketahanan Pangan dan Penyuluh Pertanian, biar tujuan dan sasarannya dapat terwujud dengan baik.
“Libatkan Dinas Ketahanan Pangan dan Penyuluh Pertanian. Saya optimistis, inovasi ini bisa masuk TOP 30, asal dipertajam saja bahwa inovasi ini untuk pendidikan karakter anak dan bagian dari muatan lokal kurikulum kita. Penerima manfaatnya kan jelas, anak sekolah. Kalau warga kurang mampu yang nikmati hasilnya, itu dampak dari inovasi ini,” jelas dia. (rls)