"Ini kan bukan profesi. Kalau dibela, bisa-bisa jadi legitimasi buat mereka untuk tetap bekerja sebagai Pak Ogah," ucapnya.
Karenanya, perda bukanlah solusi karena hanya akan melegalkan bahwa Pak Ogah adalah sebuah pekerjaan yang legal. Persoalan lalu lintas sudah diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
"Yang boleh mengatur lalu lintas itu, ya, polisi dan dishub. Tak usah perda lagi," ucapnya.
Mario mengakui, persoalan Pak Ogah ini memang sangatlah kompleks. Satu sisi bukan profesi, dan sisi lain memang menjadi lahan yang sangat menggiurkan untuk mencari uang.
"(Pertama) ini persoalan pola pikir yang harus diubah. Terus yang kedua, harus ada program jangka pendek yang konsisten untuk dibuat untuk mereka," ujarnya.
Misalnya, memberikan pelatihan usaha bagi para orang tua yang kini menjadi Pak Ogah tersebut dan menyekolahkan mereka bagi yang masih di bawah umur.
"Penindakan tak cukup. Harus dirangkul dan kalau perlu disekolahkan agar pola pikirnya berubah. Karena rata-rata yang jadi Pak Ogah ini memang adalah anak-anak yang terpaksa putus sekolah," bebernya.
Anggota DPRD Makassar Wahab Tahir mengatakan kemunculan Pak Ogah di jalanan tak bisa dilepas dari masalah ekonomi. Olehnya itu, penyelesaiannya tak boleh hanya sebatas penindakan saja.
Kata ketua Komisi D DPRD Makassar ini, harus dibarengi dengan pemberian solusi. Seperti, pembukaan lapangan kerja kepada para Pak Ogah.
"Tetapi harus dilakukan pendataan dulu. Kita sudah meminta kepada Dinsos pada 2021 ini untuk bergerak cepat saat sidak beberapa tempat pekan lalu," katanya. (ful-sua/zuk)