Namun diakui Arifuddin, ini adalah bagian dari risiko jabatan, apalagi di era reformasi dan keterbukaan informasi publik saat ini. Karena itu, Arifuddin merasa perlu meluruskan informasi yang bias ke publik, sekaligus mengklarifikasi tudingan yang beredar di Medsos.
Disdikbud, kata Arifuddin, sudah mengambil langkah-langkah yang perlu untuk mensosialisasikan tentang pemotongan itu kepada guru-guru. Di antaranya dengan mengundang semua guru penerima sertifikasi untuk disosialisasikan tentang pemotongan itu pada Oktober 2020. Karena aturan tentang pemotongan itu berlaku sejak 1 Januari 2020, sehingga dalam sosialisasi ditekankan pemotongan dilakukan sejak Januari 2020 hingga September 2020 atau sembilan bulan.
Nah, yang perlu diluruskan lagi, kata Arifuddin, saat proses pemotongan itu sempat ada kesalahan pemahaman dari operator Disdikbud yang menginput ke BPJS Kesehatan.
“Dia memotong 1 persen per bulan, sehingga secara keseluruhan 9 persen untuk 9 bulan. Sementara sertifikasi ini tidak diterima setiap bulan, melainkan per triwulan. Jadi seharusnya yang dipotong itu hanya 1 persen per triwulan, sehingga keseluruhan hanya 3 persen untuk tiga triwulan,” terang Arifuddin.
Namun, Arifuddin menegaskan, meskipun terjadi kesalahan pemotongan, dana itu sama sekali tidak masuk di Disdikbud atau rekening pribadi, melainkan semuanya masuk di rekening BPJS Kesehatan.
“Saya sudah tegur Pak Ramli (operator Disdikbud), karena tidak berkoordinasi dan melapor kepada saya terkait pemotongan itu. Padahal ada kesalahan dalam memahami aturan pemotongan itu. Tapi semua pemotongan itu masuk di rekening BPJS Kesehatan, sama sekali tidak ada di Dinas Pendidikan atau rekening pribadi,” tegas Arifuddin.