Makkawali menatap dengan saksama, ia menutup semua jendela yang ada di rumahnya, dirinya juga takut apabila perkataan dukung itu betul adanya, sanregonya dipegang erat-erat. Apabila kelalawar itu menyerang maka dia langsung menghabisinya.
Usai menutup daun-daun jendela dan daun-daun pintu, ia turun melihat-lihat, apakah masih ada kelelawar, karena tak lagi mendengar suara pekikan. Dalam hati Makkawali berkata, mungkin kelelawar itu telah pergi terbang dan hanya melintasi rumahnya
Makkawali Turun dari arah belakang rumahnya, pelan-pelan ia mengintip dan menengok ke atas rumahnya ternyata kelelawar itu telah bergelantungan. Mata Makkawali melotot, kalimat dukun itu seperti serapah yang telah menembus jantung Makkawali. Namun, di balai-balai Makkawali melihat seorang perempuan berbaju bodo dengan lipa sabbe, putih dan senyumnya menawan, lalu berkata Daeng.
Teringatlah Makkawali dengan kalimat I Manre. Persetan dengan kata dukun itu, di hadapanku ini seorang wanita bugis sedang berdiri dan memanggilku.
“Siapakah gerangan engkau wahai adik cantik yang nan celita?” begitu Makkawali menggoda perempuan bugis itu. Namun sanregonya tetap digemgamannya. Wanita itu hanya memandang Makkawali dengan senyum yang aduhai. Sambil melangkahkan kakinya menuju Makkawali.
Ditatapnya dalam-dalam mata Makkawali, mata yang berbinar itu memancarkan cahaya purnama. Digemgam tangan Makkawali, diciumnya. Makkawali hanya diam seperti dirinya telah larut dari sinar cahaya purnama itu.
“Makkawali, engkaulah laki-laki yang Aku cari,”