Herbin menuturkan, bahwa untuk meringankan beban ekonomi rakyat pada masa pandemi,
pemerintah telah melakukan penambahan anggaran, jumlah penerima, serta ragam bantuan yang diberikan. Penyerapan dan realisasi bansos di lapangan berjalan baik. Bantuan beras telah tersalurkan 80,5% dan bansos secara keseluruhan telah menjangkau sekitar 60% dari keluarga di Indonesia.
“Apabila ada keluarga terdampak yang masih membutuhkan, atau tambahan usulan lain dari
pemerintah kabupaten/kota, maka masih tersedia alokasi anggaran, misalnya dari BLTD Dana Desa,” tambahnya.
Emil menyoroti pentingnya bansos insidentil COVID-19 yang betul-betul disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat terdampak pandemi. Misalnya di Jawa Timur, terdapat bantuan berupa Santunan Kematian dialokasikan bagi 4000 keluarga yang anggota keluarganya meninggal karena COVID-19. Kemudian ada bantuan untuk penyandang disabilitas, serta bagi keluarga dengan lansia ekonomi rentan.
Emil menyebut, skema kemiskinan akibat pandemi adalah unik. Di Jawa Timur, keluarga miskin yang terdata dalam DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) biasanya berasal dari pedesaan. Kendati demikian, pandemi justru memukul perekonomian warga yang tinggal di perkotaan, karena kehilangan mata pencaharian dan biaya hidup yang tinggi.
“Keluarga terdampak pandemi seperti ini, secara tradisional tidak memenuhi syarat untuk
mendapatkan bansos, namun bila dicermati sebetulnya mereka sangat membutuhkan bantuan,” ungkap Emil.
Oleh karena itu, validasi dan verifikasi pendataan penerima bansos sangat diperlukan,
agar bantuan tepat sasaran. Diah Pitaloka menegaskan hal yang sama, bahwa format bantuan sosial harus bernilai responsif
sesuai kebutuhan masyarakat.