Telah menjadi fakta bahwa organisasi kemahasiswaan yang sudah berdiri dua tahun pasca kemerdekaan ini semakin melebarkan kepakan sayapnya, kader-kadernya tersebar seantero nusantara bahkan hingga mancanegara.
Pencapaian tersebut bisa menjadi peluang dan di sisi lain berpotensi menjadi bumerang.
Demikianlah fakta pertumbuhan organisasi, semakin besar sebuah organisasi maka semakin beragam pula dinamika yang dihadapi selaras dengan beragamnya kepentingan yang ingin dicapai.
Keragaman dinamika dan kepentingan tersebut menjadi asbabun nuzul dari rangkaian perpecahan yang mewarnai perjalanan HMI, perpecahan dari tingkatan pengurus besar, cabang, dan yang lebih miris, ikut merongrong sampai ke jantung HMI, yakni komisariat, dan ini fakta!
Penulis dengan haqqul yakin, meyakini bahwa kritikan tajam dari tulisan Prof Qasim ihwal perpecahan HMI menyasar pada perpecahan yang menyebabkan HMI cuti dari aktifitas-aktifitas produktif karena sibuk mengurusi persoalan dapur perpecahannya.
Dengan demikian, jika tidak ingin dikatakan HMI sudah tiada, setidaknya mengakui bahwa HMI tetap ada dengan wajah "perpecahan"nya.
Inilah barangkali pesona dari ungkapan heraclitus "phanta rei", semua bergerak dan semua berubah, begitupun dengan HMI.
HMI yang dulu pernah hadir dengan kekuatan persatuannya menghadapi tantangan eksternal (salah satunya PKI), kini HMI tampil dengan pesona perpecahannya sebagai konsekuensi dari tantangan internal.
Cuti dari aktivitas produktif dan sibuk mengurusi soal perpecahan hanya menjadikan HMI laksana bui di lautan seperti ungkapan metafor Nabi Muhammad, jumlah yang banyak namun ringan tak berisi.