"Siapapun boleh melaporkan secara pidana, tetapi kalau berhadapan dengan pers maka prosedurnya harus ke dewan pers lebih dulu. Undang-undang ini punya sistem hukum sendiri di luar sistem pidana," tambah Herlambang.
Selain itu, Herlambang menekankan bahwa lembaga peradilan tidak memiliki wewenang untuk menilai apakah sebuah berita telah memenuhi unsur kaidah jurnalistik dan atau jurnalis melanggar kode etik. Penilaian tersebut merupakan domain Dewan Pers.
"Lex spesialis UU Pers diuji dengan kode etik jurnalistik bukan KUHP. Lex specialis UU Pers semakin kuat posisinya diputuskan dalam yurisprudensi MA. Dalam SKB 2021 juga menyebut lex specialis," katanya.
Herlambang juga menyinggung mengenai sebuah berita ketika diposting ke media sosial tidak bisa disangkakan dengan UU ITE, sebab penyebaran berita di medsos melekat dengan kerja-kerja keredaksian perusahaan pers.
Ditanya hakim mengenai ada dua pernyataan penilaian Dewan Pers terhadap berita yang ditulis Asrul, Herlambang menjelaskan, penyidik kepolisian harusnya mengacu pada surat yang kedua sebelum menetapkan Asrul sebagai tersangka UU ITE.
Surat kedua Dewan Pers menyatakan tiga berita yang dilaporkan Kepala BKPSDM Palopo, Farid Kasim Judas, adalah produk jurnalistik.
"Sesuai azas hukum, produk yang paling mengikat adalah yang terbaru. Penyidik kepolisian harusnya memakai surat yang kedua itu sebagai pertimbangan sebelum melanjutkan perkara ini," tegas dia.
Sertifikat dan Verifikasi Bukan Acuan
Dalam sidang yang berlangsung kurang-lebih 4 jam tadi, Herlambang menerangkan bahwa sertifikat kompetensi wartawan tidak bisa menjadi acuan untuk menyatakan seseorang tidak berkompeten dalam kerja-kerja jurnalistik.