Yang pro, akan memproduksi, mereproduksi, dengan terus membagikan berbagai variasi informasi tentang hasil survey itu kepada publik, melalui berbagai media sosial atau melalui grup-grup percakapan serupa Whatsapp atau yang lain. Yang kontra, akan terus mempertanyakan kredibilitas lembaga survey tersebut, mengingat lembaga tersebut relatif baru terdengar, belum terdaftar di Perhimpunan Survey Opini Publik (Persepi), dan leadernya teridentifikasi publik pernah punya kedekatan masa lalu dengan seorang konglomerat tambang dan figur yang diwacanakan. Yang kontra juga akan terus berupaya menggali metodologi survey, mengingat tidak seperti biasanya, konferensi pers hasil survey politik tersebut tidak membagikan file atau print-out laporan lengkap kepada para jurnalis yang mengikuti paparan via Zoom Meeting. Lantas, bagaimana dengan si penumpang gratis? Si Penumpang Gratis akan memanfaatkan panggung pertunjukan, terus bergerak meliuk-liuk bagaikan penari perut yang eksotik, mengikuti alunan irama genderang yang ditabuh oleh si empunya hajat. Begitulah sekilas gambaran dinamika dalam produksi survey opini publik.
Pada tahun 1979, Pierre Bourdieu pernah menulis artikel yang berjudul Public Opinion Does Not Exist yang diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Communication and Class Struggle di New York. Dalam artikel itu, Bourdieu berpandangan bahwa, mempercayai semua responden dari survey opini publik memiliki cukup pengetahuan untuk dapat membangun opini tentang sesuatu yang ditanyakan kepada mereka, adalah sebuah ilusi, karena tidak semua opini, memiliki bobot yang sama. Jason Barabas (2016) dalam studinya Democracy’s Denominator: Reassessing Responsiveness with Public Opinion on the National Policy Agenda, lebih jauh menemukan bahwa rencana aksi dari sebuah kebijakan, seringkali lebih dipengaruhi oleh lobby para elit bisnis dan kalangan berpunya, ketimbang dipengaruhi oleh opini dari publik secara umum.