Di Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulamapua) sendiri, kata dia, ada 200 penilai tapi hanya ada 15 penilai publik yang berlisensi pertanahan.
Padahal, tugas dari penilai itu adalah untuk menghitung nilai objek kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum serta kegiatan pertanahan dan penataan ruang lainnya.
Sejatinya, pengadaan tanah sangat bergantung dari kompetensi dan kemampuan dari seorang penilai pertanahan dalam menghitung penilaian objek pengadaan tanah. Nantinya, hasil penilaian tersebut akan dijadikan kompensasi yang diberikan kepada masyarakat yang terdampak proses pengadaan tanah.
Oleh karena itu, sambung Guntur, pihaknya terus mendorong untuk memperbanyak jumlah penilai berlisensi.
"Sulsel saja punya 24 kabupaten/kota, sehingga ada kabupaten yang mungkin tidak mendapatkan penilai publik yang berlisensi. Kita concern untuk perbanyak jumlah penilai berlisensi pertanahan di daerah-daerah, sehingga dia bisa menilai di proyek-proyek skala kecil. Ini harapan kita jangka pendek," jelasnya.
Ketua DPD MAPPI Sulamapua, Abdullah Najang membeberkan, ada empat tahapan dalam pengadaan tanah, khususnya yang berskala besar. Yakni tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, dan penyerahan hasil.
Dalam tahapan perencanaan itu, kata dia, harus dibuat secara komprehensif sehingga tahapan berikutnya bisa berjalan lancar.
Setelah itu berlanjut ke tahapan persiapan dengan adanya penetapan lokasi oleh gubernur, bupati/wali kota. Kemudian masuk ke tahapan pelaksanaan pengukuran bidang tanah oleh BPN.