Lebih jauh, dia menyebut penetapan upah minimum tersebut mengacu pada UU Cipta Kerja Tahun 2020 yang kemudian diturunkan metalui PP No. 36 Tahun 2021 dianggap lebih memberikan proteksi kepada pengusaha daripada kaum pekerja, padahal negara seharusnya memproteksi hak-hak kaum buruh sebagai elemen masyarakat yang lemah.
Penetapan upah minimum yang menggunakan formula PP 36 ini juga dinilai tidak memiliki landasan hukum karena UU Cipta Kerja saat ini masih sedang digugat di Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, formula yang digunakan data PP 36 Tahun 2021 juga mencerminkan sistem penerapan upah murah di Indonesia dan tidak lagi memperhatikan kebutuhan hidup yang layak bagi pekerja.
"Berdasarkan survei kami di beberapa pasar di Kota Makassar, hasil dari peninjauan kebutuhan hidup layak berada di angka Rp. 4.481.285 sesuai dengan 64 komponen dan jenis kebutuhan hidup layak berdasarkan Permenaker No. 18 Tahun 2020, padahal Permenaker tersebut dibuat setelah pengesahan UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Sedangkan upah di Kota Makassar saat ini angkanya berada sangat jauh dari angka kebutuhan hidup layak," kecam Taufik.
Menurutnya, baik dewan pengupahan maupun pemerintah tidak pernah mengumumkan kebutuhan hidup layak yang seharusnya menjadi acuan penetapan upah minimum.
Pasca perubahan sistem penetapan upah minimum berdasarkan UU No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, kenaikan upah minimum di Indonesia dinilai sudah tidak lagi mempertimbangkan kebutuhan hidup layak.
"Hal inilah yang kemudian menjadi acuan kami untuk menolak kenaikan upah minimum tahun 2022 karena kami menilai penetapan kenaikan upah minimum ini sangat jauh dari kata layak. Formuta PP 36 Tahun 2021 yang digunakan sebagai dasar penetapan upah minimum menurut kami sangat bertentangan dengan aturan lainnya yang terkait dengan kebutuhan hidup layak dan penetapan upah minimum," pungkasnya. (selfi/fajar)