Oleh: Desy Selviana (Pustakawan)
I Tepu Daeng Parabbung Karaeng Tunipasulu' Raja Gowa ke-13, yang diturunkan oleh rakyat Gowa sendiri setelah dua tahun memerintah (1593). Lainca (Laica), Raja Bone ke-8, mencoreng hitam sejarah Bone, sehingga dia harus dibunuh oleh Arung Majang, neneknya sendiri (1578-1589). Tidak sedikit pembesar kerajaan Bugis-Makassar yang harus mengalami nasib yang serupa dengan Karaeng Tunipasulu' dan Lainca, Raja Bone.
Kejadian yang dialami para pembesar kerajaan disebabkan oleh musibah yang menimpa negeri atau masyarakat, dikarenakan ada di antara pembesar kerajaan atau keluarganya telah melanggar nilai-nilai yang dijunjung, dihormati. Seperti La Mannusa Toakkarangeng Datu Soppeng menghukum dirinya sendiri sesusah diketahui bahwa beliau pernah memungut sesuatu barang yang belum pernah diumumkannya, hal mana dipercayai bahwa itulah yang menyebabkan Soppeng menderita krisis pangan. Demikian juga La Pagala Nene' Mallomo (1956-1654) dalam masa beliau sebagai kepala yudikatif negeri Sidenreng. Negeri ini tidak menjadi padinya selama tiga tahun.
Sewaktu orang jadi bingung karena tidak didapatkan siapa di antara pembesar atau keluarga mereka yang telah berbuat pelanggaran, tiba-tiba putera La Pagala sendiri menghadap ayahnya. Tiga tahun yang lalu, pada musim membajak, beberapa mata sisir bajak (salaga) nya patah. Lalu dia mengambil sepotong kayu kepunyaan tetangganya tanpa di minta, dan sampai sekarang sudah tiga tahun belum juga minta kerelaan pemiliknya.
Setelah sang ayah menyelidiki, maka di depan pengadilan, si ayah sendiri menjatuhkan palu keputusan untuk hukuman mati bagi puteranya. Sesudah akan dilaksanakan eksekusi, rakyat Sidenreng menghadap La Pagala, sambil mengemukakan bahwa sampai hati tuan menilai nyawa putera tuan dengan sebilah kayu sahaja. Dengan tegas beliau menegaskan kepada masyarakat bahwa Ade'é temmakkéana', temmakké-eppo, yang berarti "adat tidak mengenal anak, tidak mengenal cucu".