Pegiat Gerakan Keperempuanan (Pusat Pemberdayaan Perempuan Indonesia), Oom Komariah mengatakan, hal ini tentulah sangat meresahkan dan perlu dikawal oleh semua pihak demi terwujudnya kepastian hukum.
"Saya sangat menyayangkan atas peristiwa pembebasan tersangka pelaku Tindak Pidana Perkosaan
terhadap perempuan difabel mental tersebut," katanya.
Pembebasan tersangka pelaku Tindak Pidana Perkosaan
sangat meresahkan dan menimbulkan rasa tidak aman bagi masyarakat. Hal ini berpotensi merusak citra kepolisian di mata publik. Saya mendorong Pihak Kepolisian untuk tegas dan serius dalam penyelesaian kasus tersebut.
Penegak hukum harus memiliki perspektif dari sudut pandang korban sebagai upaya
menegakan keadilan serta pemulihan bagi korban kekerasan seksual termasuk di antaranya kasus kekerasan seksual.
Meskipun pelapor telah mencabut laporannya, tidak serta merta menggugurkan kewajiban penyidik dalam melanjutkan proses perkara. Tindak Pidana Perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan tindak pidana biasa dan bukan delik aduan.
Karena itu, pihak Kepolisian dalam hal ini penyidik, tetap berkewajiban untuk melanjutkan proses perkara perkosaan tersebut tanpa adanya persetujuan dari pelapor atau korban. Pasal 285 KUHP berbunyi
“barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”.
"Saya mengapresiasi dan mendukung penuh langkah Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Banten yang telah serius dalam melakukan advokasi terhadap kasus Perkosaan Gadis Difabel mental di mana kedua tersangka pelaku perkosaan tersebut dibebaskan oleh pihak Kepolisian," kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (lMM) Bidang Immawati 2016/2018 itu.