Beberapa tokoh dan mubalig yang datang dari luar Jakarta menjadi pelanggan rutin rumahya yang terbilang nyaman dan di ujung gang buntu dataran tinggi kampung Cililitan yang berbatas sungai Ciliwung.
Tak heran tupai dan musang masih bebas beraktivitas di semak dedaunan lebat aneka pohon di sekitarnya. Meski harus kerja meninggalkan rumah, para tamu dipersilakan menikmati setengah bagian rumah yang dikhususkan untuk mereka.
Isterinya tak bosan memadati meja tamu dengan aneka menu kue dan minuman. Usai pulang kerja Zen menghadap khusuk monitor PC dan langsung aktif menentang ekstremisme di miling list google.
Ketika FB masuk Indonesia dia langsung aktif memposting pandangan tentang toleransi dan moderasi. Banyak kalangan nasionalis dan non Muslim yang semula tercengang dengan sikap moderatnya menjadi fansnya.
“Mungkin akibat hantaman badai ekonomi krisis moneter, Zen kehilangan klien-klien perusahaannya,” ucap Habib Bakar.
Karena terbiasa berderma, Zen tak pernah mengeluhkan keadaan meski perlahan tapi pasti situasi finansialnya tak juga membaik sementara kebutuhan hidup, termasuk membiayai studi tiga puteranya juga beberapa anggota keluarganya.
Zen Assegaf lantas menjual satu demi satu asetnya hingga menjual setengah rumahnya yang semula punya dua halaman muka dari dua gang berbeda.
Rumahnya mulai sepi pengunjung. Zen berusaha bertahan dengan memulai mencoba usaha kecil-kecilan demi bertahan hidup.
Namun ternyata episode ujian belum berakhir. Sisa setengah rumahpun dilepasnya demi memenuhi janjinya memberikan pendidikan berkualitas kepada tiga puteranya.