Isu Radikalisme dan Perang Persepsi

  • Bagikan
Imam Shamsi Ali. (AP Photo/Seth Wenig)

Oleh karena defenisi teror saat itu juga tidak diperjelas. Akhirnya peperangan kepada terror itu menjadi remang-remang, tidak jelas juntrungannya. Bahkan belakangan teridentifikasi kalau “war on terror” itu identik dengan “war on Islam” (peperangan kepada Islam). Walaupun Islam yang dimaksud terlabelkan sebagai “Islam radikal”.

Satu hal lagi yang menjadi dilemma Bush dengan War on Terror ini. Yaitu terjadinya apa yang disebut dengan “guilt by association” atau bersalah karena asosiasi. Hal ini menjadi masalah besar karena apapun bentuk hubungan itu akan dijadikan justifikasi sebagai “bagian atau dukungan” kepada teror. Akibatnya begitu banyak orang-orang yang tidak tahu dan tidak sadar tentang apa yang terjadi tiba-tiba harus menanggung resiko tuduhan teror.

Sebagai contoh saja. Karena Hamas terlanjur dituduh sebagai organisasi teroris maka semua yang punya relasi dengannya harus siap dituduh teroris. Termasuk ketika seseorang atau sebuah organisasi menyalurkan donasi untuk perjuangan bangsa Palestina. Jika kebetulan donasi itu ada yang masuk dalam pengelolaan orang atau kelompok yang berafiliasi dengan Hamas maka donatur tersebut dianggap bagian dari jaringan teror.

Bahkan lebih radikal lagi ada kasus seorang warga Amerika keturunan Somalia berkunjung ke Magdishu (Ibukota Somalia). Orang tersebut makan di sebuah restoran yang kebetulan di miliki oleh seseorang yang berafiliasi ke Al-Shabab (organisasi yang ditetapkan sebagai terroris). Warga Amerika tersebut kemudian ditetapkan sebagai donatur ke organisasi terroris.

  • Bagikan

Exit mobile version