Alasan lain adalah anak-anak sudah terlalu lama PJJ, sehingga mengalami penurunan karena ketidak efektifan proses pembelajaran (50 persen) dan jika anak-anak dan sekolah menerapkan prokes ketat, maka penularan Covid-19 bisa diminimalkan (15 persen). Kemudian, orang tua yang bekerja sulit mendampingi anak untuk PJJ (3 persen) dan jawwaban lainnya (4 persen).
“Data tersebut menunjukkan bahwa alasan para orangtua yang menyetujui PTM 100 persen meskipun kasus covid sedang meningkat adalah mengkhawatirkan ‘learning loss’ pada anak-anak mereka, karena mereka menilai PJJ kurang efektif sehingga anak-anak mereka menemui kesulitan memehami materi selama proses pembelajaran,” ungkap Retno.
Sedangkan alasan orangtua peserta didik yang tidak menyetujui kebijakan PTM 100 persen, yakni anak belum mendapatkan vaksin atau belum di vaksin lengkap 2 dosis (2 persen), anak-anak sulit dikontrol perilakunya, terutama peserta didik TK dan SD (3 persen). Kemudian, jika kapasitas PTM 100 persen, maka anak-anak selama pembelajaran sulit jaga jarak (21 persen) dan meningkatnya kasus covid, khususnya Omicron (72 persen) dan Jawaban lainnya (2 persen).
“Mayoritas orangtua yang tidak menyetujui kebijakan PTM 100 persen memiliki alasan kesehatan, yaitu meningkatnya kasus covid, terutama omicron yang memiliki daya tular 3-5 kali lipat dari delta, sehingga mereka tidak ingin anak-anaknya tertular,” pungkas dia. (jpg/fajar)