Regulasi pengaturan pengeras suara ini sesungguhnya bukan barang-barang baru, namun sudah 44 tahun silam sudah diatur dalam Instruksi Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Nomor Kep/D/101/1978, namun dalam realitas di lapangan, regulasi ini “takbergigi” dalam konteks peningkatan kesadaran dan kualitas kerukunan umat beragama,ibarat pepatah Arab “wujuduhuka ‘adamihi”, adanya sama dengan tidakadanya, tidak memiliki pengaruh yang kuat dalam proses pengelolaan dan pengaturan pengeras suara di masjid, langgar dan mushalla. Sehingga sebagian masyarakat banyak warga yang merasa terganggu akibat “kebisingan” pengeras suara yang belum teratur. Padahal pengeras suara (toa) seharusnya berfungsi menjadi media dan wasilah keagamaan efektif dalam proses mengantarkan umat Islam menuju kedamaian dan ketenangan secara psikologis dan religiusitasnya, sebagaimana yang diutarakan Dirjen Bimas Islam Prof.Dr. Kamaruddin Amin dalam dialog di TVOne bersama beberapa tokoh nasional (24/2/2022). Dalam konteks inilah, kehadiran Negara untuk mengatur dan menertibkan pengunaan pengeras suara menjadi sebuah keniscayaan.
Jadi pengaturan pengeras suara, jangan diartikan, jangan diasumsikan bahwa Menteria Agama melarang adzan. Asumsi yang demikian jelas tidak benar dan kurang bijak karena justru kebijakan Menteri Agama Gus Yaqut adalah sebuah niat baik untuk mendorong kualitas kerukunan umat beragama, moderasi beragama dan toleransi umat semakin baik.
Jika Prof. Mahfud MD berpandangan bahwa perbedaan dan pluralitas bangsa Indonesia merupakan anugerah dan kehendak Tuhan yang harus disyukuri. Maka cara terbaik mensyukuri pluralitas itu adalah senantiasa memelihara persatuan dan ukhuwah kebangsaan kita sebagaimana yang diajarkan al-maghfurlah KH Achmad Shiddiq dengan konsep trilogy ukhuwahnya yakni ukhuwah Islamiyah (Islamic brotherhood), ukhuwah wathoniyah (national brotherhood), dan ukhuwah basyariyah (human brotherhood).