Kebijakan Menteri Agama melalui Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022 tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid dan mushalla ini di samping sebagai ikhtiar memperkuat Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor Kep/D/101/1978 juga memiliki visi kebangsaan kedepan dalam rangka membangun kerangka kerukunan yang kuat, cara pandang keberagamaan yang moderat, menanamkan nilai-nilai toleransi yang substansial, juga menggagas hadirnya kemaslahatan dan kedamaian bersama. Pengaturan pengeras suara di masjid dan mushalla sebelumnya juga pernah digagas dan dilontarkan Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang juga mantan Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 Bapak Jusuf Kalla. Bahkan di beberapa negara yang mayorits muslim sebagaimana kondisi Indonesia juga telah mengeluarkan kebijaakan pengaturan pengeras suara di masjid misalnya Mesir, Arab Saudi, dan Malaysia.
Pemerintah Mesir sempat melarang penggunaan pengeras suara masjid untukmenyiarkan shalat Tarwih dan ceramah keagamaan selama bulan suvi Ramadhan 2017. Kebijakan ini diambil agar umat Islam khusyu’ dan tidak terganggu suara pengeras suara masjid yang tidak diatur secara baik, sehingga menimbulka nkebisingan. Di Arab Saudi sejak 2015 juga telah mengeluarkan kebijakan mengatur pengeras suara luar masjid kecuali untuk adzan shalat fardhu, shalat Jum’at, salat Idul Fitri dan Adha, serta shalat meminta hujan (istisqo’). Kebijakan di Arab Saudi ini diambil setelah munculnya beragai keluhan dan aspirasi warga mengenai volume pengeras suara masjid yang terlalu keras; Sedangkan di Malaysia, kebijakan pengaturan terhadap pengeras suara diserahkan kepada Negara bagian masing-masing guna mewujudkan kemaslahatan dan ketertiban umum. Jadi pengaturan “kebisingan” pengeras suara (toa) masjid dalam rangka mewujudkan kemaslahatan dan nyaman bersama merupakan ranah pemerintah sesuai prinsip ushulfiqhitashorruful imam ‘ala al-ro’iyahmanuthun bi al-maslahah.