“Jika tidak disiasati betul, dengan adanya economic shock terhadap APBN karena Pandemi COVID-19, maka harga minyak dan gas yang tinggi akan semakin membebani APBN kita. Pertumbuhan ekonomi kita yang lumayan membaik tahun 2021, bisa jadi terdampak,” katanya.
Di lain sisi, Indonesia saat ini dikenal sebagai negara penghasil emas, perak, alumunium dan nikel yang saat ini juga ikutan naik pasca meningkatnya eskalasi konflik Russia vs Ukraina.
“Jika kita bisa mengoptimalkan peluang ini, ekonomi kita bukan hanya selamat dari ancaman defisit karena dampak naiknya harga migas, tapi juga bisa untung besar. Namun, untuk mendapatkan untung besar, perlu strategi yang jitu terkait pertambangan, baik di hulu maupun hilirnya, termasuk tentu saja terkait pembangunan smelter dan lain-lainnya. Di sini lah, Politik Bebas Aktif Indonesia menemukan relevansi dan signifikansinya,” urainya.
Peneliti INDEF, Eisha M Rachbini, Ph.D. menyatakan bahwa terdapat beberapa dampak dari Invasi Rusia terhadap Ukraina. “Khususnya terhadap Ekonomi Global, pemulihan ekonomi dunia post covid, dengan ancaman inflasi yang telah terlihat di beberapa negara maju (AS, juga Indonesia), dan kenaikan harga komoditas dunia. Jika perang berlanjut, pemulihan ekonomi global juga terancam akan lebih rendah dari prediksi awal,” sebutnya.
Eisha juga menambahkan bahwa harga komoditas dunia pada 2022 telah mengalami kenaikan. “Rusia adalah salah satu produsen dunia minyak bumi dan industri pertambangan seperti nikel, alumunium dan palladium. Rusia dan Ukraina adalah eksporter utama gandum. Rusia juga produsen kalium karbonat (potash) bahan baku pupuk," katanya.