Artinya, tingginya kepercayaan diri Ukraina dalam menghadapi Rusia tentu tidak lepas dari ekosistem kekuatan yang mengelilinginya, khususnya keterlibatan NATO dan juga Amerika Serikat sendiri yang menjanjikan aliansi dukungan pertahanan yang kuat sebagai back up kekuatan.
Ia juga menekankan pentingnya mengelola “ego kekuasaan” yang dimainkan oleh elit politik, pemerintahan, atau negara. “Dalam konteks ini, konflik yang selanjutnya tersulut menjadi perang terbuka seringkali tidak lepas dari hadirnya sosok pemimpin yang meledak-ledak, tidak mudah diterka (erratic leader), memiliki ego yang tinggi, serta kadang menikmati hadirnya atmosfer ketegangan hingga perang (warlike leader),” ujarnya.
Indonesia menurut Umam, harus mengantisipasi perluasan konflik agar ancaman instabilitas ini tidak berpindah ke kawasan Asia Tenggara. “Ada sejumlah kekuatan besar yang sedang berusaha mengonsolidasikan kekuatan mereka di kawasan Indo-Pasifik. Upaya konsolidasi kekuatan itu salah satunya ditandai oleh hadirnya deklarasi pakta pertahanan Australia, United Kingdom dan United States of America (AUKUS) pada September 2021 lalu," urainya.
Perang Rusia dan Ukraina harus menjadi wake-up call, untuk benar-benar mampu menjalankan kerja diplomasi dan komunikasi politik publik di kawasan secara optimal. Jangan sampai Asia Tenggara, khususnya Indonesia, menjadi ajang medan pertempuran dan adu pelanduk di antara dua kekuatan besar di kawasan.
“Perlu komitmen semua negara di kawasan harus terus ditegakkan, untuk menghadirkan kerja-kerja diplomasi dan komunikasi politik yang jujur, transparan, dan akuntabel. Begitupun proses diplomasi dan komunikasi politik publik harus benar-benar diletakkan dalam koritor relasi bilateral maupun multilateral yang kontruktif dan tidak bias kepentingan,” tuturnya.