FAJAR.CO.ID -- Perang tidak selalu menyebabkan perdagangan sepenuhnya terhenti dan perdagangan antar negara yang tinggi volume/nilainya, tidak menyebabkan perang.
Demikian disampaikan Dr M Syaltout Dosen Paramadina Graduate School of Diplomacy pada Forum Ekonomi Politik Didik J. Rachbini bertajuk “Dampak Perang Rusia-Ukraina: Ekonomi dan Politik Global” yang digelar melalui platform Twitter Space, 26 Februari 2022.
Menurut Syaltout, bahkan justru sebaliknya, bisa jadi antar negara tersebut tidak bisa menghindar untuk berperang satu sama lain. Jerman dan Inggris yang berperang pada world war I dan II sebelumnya adalah rekanan perdagangan sangat aktif. "Pax Mercatoria - Perdamaian melalui perdagangan (khususnya multilateral neoliberal) hanyalah ilusi dan bahkan cuma mitos,” katanya.
Pada saat perang lanjut Syaltout, ternyata tidak semua pihak menjadi buntung, rugi, defisit dan mengalami krisis perdagangan maupun ekonomi. “Ada beberapa negara yang justru diuntungkan dengan munculnya bukan hanya ketegangan konflik antar negara, tapi juga perang yang terbuka,” sebutnya.
Untung dan rugi secara ekonomi maupun perdagangan dalam konflik Russia vs Ukraina ini bukan hanya bergantung pada sisi mana kita berpihak secara politik (apakah Pro Russia ataukah Pro Ukraina). "Tetapi juga bergantung pada inter-dependensi perdagangan kita apakah dengan jejaring dagang aliansi besar Rusia ataukah aliansi Ukraina-US-EU dan juga secara khusus pada komoditas ekspor dan impor kita,” tambahnya.
Menyinggung posisi Indonesia, Syaltout menyatakan sebagai negara net importir minyak bumi, harga minyak dan gas bumi yang semakin tinggi pasca meningkatnya eskalasi konflik Russia vs Ukraina, dalam jangka panjang dapat merugikan Indonesia.