FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Usulan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin mengenai penundaan Pemilu 2024 menuai kririk dari berbagai pihak.
Menanggapi itu, Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid menganggap kritik yang dilayangkan terhadap Cak Imin merupakan hal wajar dalam negara demokratis. ’’Biasa, wajar saja. Demokrasi kan tidak mengharamkan usulan, wacana, dan kritikan,” kata Jazilul dikonfirmasi, Rabu (2/3).
Salah satu kritikan terhadap usulan Cak Imin adalah, dirinya dinilai menjerumuskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melakukan pelanggaran konstitusi atau UUD 1945. Pasalnya, konstitusi sudah mengatur dengan tegas soal pemilu dan masa jabatan presiden, yakni maksimal 2 periode dan dipilih setiap 5 tahun sekali.
Konstitusi bahkan tidak mengenal istilah penundaan pemilu yang konsekuensinya memperpanjang masa jabatan penyelenggara negara mulai dari presiden, wakil presiden, DPR, DPD, MPR, dan DPRD.
Wakil Ketua MPR itu menilai, pihak yang beranggapan bahwa Cak Imin ingin menjebak Presiden Jokowi dengan usulan penundaan pemilu tersebut hanya berspekulasi, dari pihak yang tidak setuju dengan wacana penundaan pemilu.
Kritik terhadap Cak Imin salah satunya disampaikan, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayoga. Dia menegaskan, secara fundamental wacana penundaan Pemilu 2024 inkonstitusional, melecehkan konstitusi (contempt of the constitution) dan merampas hak rakyat.
Sebab, Pasal 7 dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 telah tegas membatasi kekuasaan eksekutif dan legislatif selama 5 tahun dan mengamanatkan bahwa Pemilu diselenggarakan dalam waktu 5 tahun sekali. “Gagasan penundaan Pemilu 2024 juga mencerminkan inkonsistensi partai atas keputusan politik yang sudah dibuat, mencerminkankan pragmatisme politik kepentingan partai, serta menunjukan rendahnya komitmen partai politik untuk menjaga dan menegakan prinsip-prinsip demokrasi,” tegas Egi. (jpg/fajar)