“Dengan tujuan yaitu adanya semangat untuk memanfaatkan benih lobster untuk kesejahteraan masyarakat,” ungkapnya.
Kemudian, Edhy juga menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. 12/PERMEN-KP/2020 tersebut eksportir disyaratkan untuk memperoleh Benih Bening Lobster (BBL) dari nelayan kecil penangkap BBL. Sehingga itu dianggap bahwa Edhy memperhatikan nelayan.
“Sehingga jelas perbuatan terdakwa tersebut untuk menyejahterakan masyarakat khususnya nelayan kecil,” tuturnya.
Adapun, perkara ini diadili oleh Ketua Majelis Sofyan Sitompul dengan hakim anggota masing-masing Gazalba Saleh dan Sinintha Yuliansih Sibarani. Putusan diketok pada Senin, 7 Maret 2022.
Sebelumnya, hukuman Edhy di tingkat banding diperberat menjadi sembilan tahun penjara dari semula lima tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Ia dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama terkait penetapan izin ekspor benih lobster.
Edhy juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp9.687.447.219 dan US$ 77.000 dengan memperhitungkan uang yang telah dikembalikan.
Lebih lanjut, majelis tingkat banding juga mencabut hak politik Edhy selama tiga tahun setelah yang bersangkutan selesai menjalani masa pidana pokok atau hukuman 9 tahun penjara.
Edhy dinilai terbukti menerima suap sebesar US$77.000 atau sekitar Rp 1,12 miliar dan Rp 24,62 miliar terkait proses persetujuan pemberian izin budi daya lobster dan izin ekspor Benih Bening Lobster (BBL) kepada para eksportir. (jpg/fajar)