Kahfi melanjutkan, dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Pasal 19 ayat (2), ditegaskan bahwa tujuan penyelenggaraan Jaminan Kesehatan adalah menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Sementara dalam Perpres 64 Tahun 2020 Pasal 54A disebutkan tujuan KDK dan KRIS adalah untuk keberlangsungan pendanaan Jaminan Kesehatan.
“UU SJSN niatnya adalah pada pemeliharaan kesehatan dan perlindungan, sementara Perpres bertujuan menjaga keberlangsungan pendanaan Jaminan Kesehatan, jelas Mantan Wakil Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Selatan selama tiga periode ini.
Perbedaan tujuan tersebut, ungkap Kahfi, bisa membuat Pemerintah lebih berorientasi pada penghematan, yang justru membebani para peserta JKN.
“KRIS dan KDK belum dijalankan saja, tapi sudah ada kebijakan penurunan manfaat pelayanan JKN kepada peserta, misalnya korban pembegalan, atau penganiayaan, tidak ditanggung BPJS Kesehatan, melainkan harus melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),” jelas Kahfi.
Kahfi meminta Pemerintah tidak buru-buru menjalankan kebijakan ini, sebelum melakukan kajian dan riset yang mendalam, dengan melibatkan masyarakat secara lebih luas.
“Jika perlu buat survei ke masyarakat, bagaimana penerimaan mereka terhadap KBK dan KRIS ini. Selain itu, bisa membuat FGD yang lebih luas dengan pelibatan unsur-unsur masyarakat,” ujar Anggota DPR RI Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan 1 ini.
Terakhir, Kahfi berpesan agar Kemenkes dan BPJS Kesehatan berorientasi pada peningkatan pelayanan kepada peserta JKN tanpa diskriminasi, termasuk kepada peserta JKN Penerima Bantuan Iuran (PBI). (rls-sam)