FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Isu penundaan Pemilu maupun wacana perpanjangan masa jabatan Presiden dinilai merupakan kategori kriminal demokrasi. Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menyebut, wacana penundaan Pemilu mulanya hanya untuk menguji respons publik, tetapi kini penolakan atas wacana penundaan Pemilu sangat kuat.
“Mulanya ini hanya menguji respons publik sekaligus Parpol mayoritas di parlemen, ketika semua Parpol dapat dikondisikan maka mudah jalankan perubahan amandemen. Tetapi rupanya penolakan publik cukup kuat, termasuk parpol yang punya legitimasi penuh atas parpolnya seperti PDIP, Gerindra dan Nasdem masih konsisten menolak, maka bisa saja wacana ini sulit terwujud,” kata Dedi kepada JawaPos.com, Senin (21/3).
Menurut Dedi, wacana penundaan maupun perpanjangan masa jabatan Presiden termasuk kategori kriminal demokrasi. Dia menegaskan, penundaan pemilu tidak dapat digabung dengan perpanjangan masa jabatan presiden.
“Itu dua hal berbeda, presiden dan jabatan legislatif, atau apapun yang dihasilkan dari pemilihan, maka harus kembali dipilih untuk mendapatkan kekuasaan,” cetus Dedi.
Dedi menegaskan, jika kekuasaan melanggeng tanpa adanya Pemilu maka itu jelas sangat melanggar konstitusi. Bahkan bisa dianggap ada kekosongan kekuasaan.
“Karena orang yang klaim berkuasa di masa perpanjangan, tidak miliki mandat publik, sehingga mereka bisa dianggap sebagai penguasa ilegal, saat seperti itu dikhawatirkan militer dapat mengambil alih, karena kekuasaan sudah tidak punya kewenangan menjadi panglima tertinggi militer,” tegas Dedi.