Menurut data yang dirilis oleh FAO, sekitar 40 persen dari ketersediaan air dari lapisan akuifer digunakan untuk keperluan irigasi, terutama di negara-negara yang kekurangan sumber daya air. Memompa air tanah untuk keperluan irigasi menjadi pilihan yang termurah sehingga mempercepat proses kelangkaan air tanah. Sejalan dengan itu, penggunaan pupuk dan pestisida juga dapat mengakibatkan penurunan kualitas air. Seiring dengan perubahan iklim yang terjadi, tentu saja proses kelangkaan air tanah ini akan semakin cepat lagi, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Apa yang kita lakukan di atas permukaan tanah sangat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas air tanah yang ada. Oleh karena itu, aktivitas yang dilakukan dengan penuh tanggung jawab adalah kunci dari kelestarian dan perlindungan siklus air yang berkelanjutan.
Dr. Ir. Muhammad Rizal, M.Sc., Direktur Bina Teknik Sumber Daya Air Kementerian PUPR dalam sambutannya menjelaskan, “Indeks pemakaian air di Indonesia menunjukkan bahwa beberapa tempat seperti di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, serta Bali dan Nusa Tenggara mempunyai status kritis sedang sampai dengan kritis berat yaitu indeks pemakaian air mencapai 50% - 100% untuk berbagai keperluan seperti domestik, Industri dan pertanian. Ini merupakan tantangan yang dihadapi Indonesia, sehingga Kementerian PUPR harus menjawab dengan pembangunan infrastruktur dan pengelolaan sumber daya air yang ditujukan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini juga dilakukan untuk mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) terutama tujuan ke-6 yaitu Pemenuhan terhadap Air Bersih dan Sanitasi yang layak pada situasi dimana saat ini terjadi perubahan iklim yang cukup ekstrim sehingga secara bersamaan Indonesia juga harus memenuhi tujuan ke-13 dari SDGs yaitu Penanganan Perubahan Iklim.”