Radikalisme Agama dan Kelangkaan Minyak Goreng

  • Bagikan
Panji Hartono

Mengenai isu dan gerakan radikalisme atau ekstremisme agama (terorisme) di Indonesia, persoalan itu bukanlah hal yang baru.

Kasus Bom Bali 1 pada 2002 menjadi momentum awal gerakan terorisme di Indonesia, dalam lima tahun terakhir, negeri ini terus saja digempur oleh aksi-aksi terorisme, serangan teror di Sarinah-Thamrin Jakarta pada 2016, kasus bom gereja di Surabaya pada 2018, serta yang terbaru Maret 2021 lalu adalah aksi teror bom bunuh diri sepasang suami istri di Gereja katedral Makassar.

Berbagai aksi terorisme (yang merupakan kejahatan kemanusiaan) yang terjadi di Indonesia, jika diamati secara seksama, hampir semuanya disinyalir terdorong oleh motif agama. Tanpa harus menutup mata, dalam fakta sejarah perjalanan manusia, memang tidak sedikit kejahatan kemanusiaan yang diinspirasi atau termotivasi oleh doktrin ajaran agama.

Di Indonesia sendiri, doktrin ajaran agama "kelompok Islam (muslim)" disinyalir paling sering menjadi pemicu lahirnya aksi-aksi teror. Olehnya sangat mungkin, alasan diedarkannya nama-nama penceramah/pendakwah yang radikal di media sebagai langkah preventif.

Dengan munculnya deretan nama-nama penceramah yang dianggap radikal di media , maka pertanyaan yang dapat disodorkan untuk didiskusikan, apakah semua gerakan ekstremisme/terorisme yang terjadi khususnya di Indonesia, itu dipicu oleh pesan-pesan dakwah dari penceramah-penceramah "radikal", atau dengan kata lain, apakah syiar dakwah merupakan hulu dari gerakan ekstremisme agama atau aksi terorisme?

Untuk menjawab pertanyaan itu, Alvin Toffler (futurolog Amerika) mengenai kelompok kultus, kiranya dapat meluaskan prespektif kita dan menyelamatkan kita dari penilaian berprespektif "kacamata kuda" dalam melihat fenomena Gerakan ektremisme agama atau aksi terorisme.

  • Bagikan

Exit mobile version