Pada sisi lain, disparitas harga yang besar antara solar yang Rp5.150 / liter dengan Dexlite Rp13.250 / liter juga dinilai menjadi salah satu poin yang harus menjadi titik perhatian.
Menurutnya, jika kemudian pengusaha angkutan terpaksa menggunakan Dexlite karena Solar tidak tersedia, maka dikhawatirkan memicu pula penyesuaian harga angkutan serta harga pokok barang.
Dia mengakui, memang terjadi pergerakan konsumsi solar yang cukup besar seiring dengan geliat ekonomi terlebih jelang Ramadan, tetapi itu secara prinsip sesuatu yang wajar secara historikal.
Namun, lanjut dia, hal tersebut justru tidak pernah bisa diantisipasi oleh Pertamina Patra Niaga agar menciptakan langkah atau skenario yang efektif agar persoalan kelangakaan BBM solar tidak terus menerus terjadi.
Ipho mengemukakan, tata penyaluran hingga pengawasan konsumsi BBM Solar subsidi pada SPBU tidak dilakukan secara sistematis dan konsekuen oleh Pertamina sehingga penyerapan BBM itu tidak tepat sasaran yang kemudian akhirnya menimbulkan kelangkaan.
"Pada titiknya, kami sebagai elemen yang harusnya menjadi sasaran penggunaan BBM Solar subisidi harus menanggung eksesnya karena ketidakmampuan Pertamina Patra Niaga mengkondisikan persoalan tersebut," keluhnya.
Adapun yang dimaksud, adalah angkutan milik pebisnis logisitk dalam naungan ALFI Sulselbar yang sangat merasakan dampak dari kelangkaan BBM Solar subsidi, padahal muatan yang diangkut adalah kebutuhan primer atau bahan pokok untuk masyarakat.
"Sederhananya begini, solar langka bikin angkutan logistik harus mengantri puluhan jam di SPBU. Ini tentu saja bikin pengiriman jadi tersendat, beban logistik jadinya. Solar langka, barang-barang kebutuhan masyarakat jadi langka juga karena distribusi tersendat. Kalau begini, ekonomi kita secara luas jadi korban, masyarakat luas," paparnya.