Apakah karena Terawan gigih ”melahirkan” Vaksin Nusantara di awal pandemi, lalu dianggap melanggar kode etik IDI?
Rasanya bukan itu. VakNus itu murni soal izin dari BPOM. Izin tersebut tidak keluar karena VakNus tidak memenuhi kriteria definisi vaksin.
Saya pun pernah menulis: mengapa Terawan ngotot menyebutnya vaksin. Mengapa, misalnya, tidak menyebutnya terapi dendritik. Toh, para dokter yang mempraktikkan stem cell atau PRP atau juga cell cure tidak ada yang dipecat dari IDI.
Rasanya pemecatan ini masih terkait dengan cuci otak. Yang dikembangkannya jauh sebelum VakNus. Ia pernah dipecat sementara dari IDI di soal cuci otak itu. Terawan dianggap tidak mau mempertanggungjawabkannya secara ilmu kedokteran di depan IDI.
Waktu itu ributnya juga luar biasa. Tidak kalah dengan VakNus. Medsos belum seeksis sekarang. Keriuhan waktu itu hanya terlihat di media mainstream.
Saking ributnya, saya sampai ingin mencoba sendiri. Saya ke RSPAD. Saya minta dilakukan ”cuci otak”. Masih dr Terawan sendiri yang mengerjakan. Belum seperti sekarang –sudah banyak dokter binaan Terawan yang bisa melakukannya.
Lalu, saya menulis pengalaman saya menjalani praktik cuci otak itu (lihat Disway, 19/3/2021: Empat Misi Terawan). Sampai dua atau tiga seri. Istri saya minta terapi itu juga. Syaratnya: saya harus bersamanya. Maka, dua kali saya menjalani cuci otak.
Begitu banyak tokoh nasional yang juga menjalaninya –sebelum dan sesudah saya. Lebih banyak lagi yang bukan tokoh: sudah lebih dari 40.000 orang.
Terawan dianggap tidak pernah mau mempertanggungjawabkan itu. Sebenarnya ia bisa minta: agar pemecatan sementaranya itu ditinjau. Lewat muktamar IDI berikutnya. Terawan tidak mau memanfaatkan proses itu. Sampailah ada Muktamar IDI 2022. Di Aceh. Pekan lalu. Status pemecatan sementara itu tidak boleh terus menggantung: Terawan dipecat secara permanen.