Metode hisab inilah yang digunakan oleh umat manusia untuk menentukan penanggalan dan atau pergantian bulan baru, di luar Ramadan.
Metode hisab dinomorduakan dalam penentuan Ramadan berlandaskan hadis Rasulullah Saw yang berbunyi:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا (Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya. Bila penglihatan kalian tertutup mendung maka sempurnakanlah bilangan (bulan Sya’ban) menjadi tiga puluh hari.
Muhammadiyah meyakini bahwa hadis tersebut sahih. Persyarikatan ini juga menilik hadis lain yang berbunyi
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لا نَكْتُبُ ولا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلاثِينَ [رواه البخاري ومسلم] (Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari.
Muhammadiyah berpendapat, kata ‘nahsubu’ dalam hadis tersebut merujuk pada makna perhitungan waktu dengan hisab terhadap posisi geometris bulan dan matahari. Hadis tersebut mengandung illat mengapa Rasulullah menggunakan metode rukyat, yaitu karena tidak bisa meng-hisab. Oleh karena itu, hisab yang sudah bisa dilakukan dan lebih memberikan kepastian, digunakan oleh Muhammadiyah.
Berdasarkan hadis tersebut, Persyarikatan ini meyakini penggunaan metode hisab tidak menyalahi hadis terkait perintah melihat hilal. Terlebih, Quran telah memberikan petunjuk terkait hisab. Ada pun surah-surah tersebut di antaranya: