Oleh: Muhammad Syarif Hidayatullah
(Direktur Eksekutif Salaja Pustaka Institute)
Aku menyukai seni sastra, keindahan dan bentuk-bentuknya namun kembali benci saat menyadari sastra dan seni selalu tiada pernah habis. Tiap aku mengagumi satu keindahan, beberapa detik datang keindahan-keindahan yang lain. Pada akhirnya seni musik, tari, suara, rupa, teater, film, juga sastra ditentukan bagus atau tidak bagus adalah ditimbang oleh selera kita. Tiap masa, tiap tempat pasti berbeda juga selera kita. Olehnya, aku mencari kepastian tapi menemukan relativitas yang tak ada ujungnya.
Seperti irama seni suara azan dan iqamah Makkah yang penuh haru dan teratur melodi yang disuarakannya. Seperti daun-dedaunan bambu muda yang berserakan ditebang padahal suara desiran gesekan batang tubuh bambu menghasilkan suara sepi dan tenang. Begitu juga setiap kita akan selalu ada mereka yang menyukai dengan selera seninya pada sesuatu yang dianggapnya indah dan bahkan dikultuskan sebagai kebaikan.
Seni tidak melulu tentang apa-apa saja yang dianggap baik, sebagian kita bahkan menyukai sesuatu yang tidak berbentuk (abstrak), "tak masuk akal" bagi yang lain, tiada beraturan, dan bahkan hal-hal berbau kriminal lainnya. Seni tetap dikatakan seni, jika tiada merugikan yang lain.
Manusia membuka matanya untuk menyukai bulan, hal-hal yang ada secara fisikal atau di balik bentuk bulan yang dibayangkan atau diasosiasikan sendiri oleh penggemarnya.
Manusia pula menyukai hujan. Menikmati kata-kata, ada pula yang cinta pada kilat dan guntur. Yang memberi keguncangan dan perasaan merinding, tapi seru seperti busur malaikat yang melesat ke bumi, mengejar setan-setan yang berseliweran.