Sebagaimana Sastra, Seni Tidak Mungkin Kulit-kulitnya Saja

  • Bagikan
Muhammad Syarif Hidayatullah

Ada yang menyukai kesendirian. Kesendirian dianggap lebih menenangkan, memberinya ruang, pada waktunya diniatkan mengenyam kepedihan demi memahami makna di baliknya.

Ada yang menyukai suasana pemakaman; mayat yang dibawa dari rumah duka hingga dibaringkan ke pusara, atau dibakar. Suasana yang sedih oleh keluarga, dan teman-teman memberi efek berbeda bagi penyukanya.

Ada yang menengok bintang dan bulan, disukainya. Bahkan pencintanya jika tak sempat, menunduk melihat pantulan benda-benda langit di pantulan permukaan danau atau samudera.

Ada yang menyukai cahaya, suasananya, hal-hal yang menjadi keunggulan-keunggulan, silau yang menenangkan dan melahirkan harapan-harapan daripadanya.

Salju yang tak pernah dilihat secara langsung, pula ada yang menggemarinya. Bagi yang lain, salju dianggap biasa saja seperti tanah yang diinjak.

Kabut-kabut yang menyelimuti pegunungan, perkampungan-perkampungan dan daerah-banyak, pula banyak penyukanya.

Tak sedikit yang menyukai sinema pun film untuk melihat kembali realita yang dibangun ulang dari dan dibanding realita sosial yang hidup di masyarakat modern manusia.

Ada yang menyukai tatto, digambarnya keindahan, bagi yang lain itu bukan keindahan. Tapi perusakan, pun betapa ukiran yang dibentuk di atas kulit penyukanya.

Ada yang ingin kembali ke masa lalu. Sebab baginya "time is money" adalah keliru. Time more valuable than money, uang bergantung pada waktu, untuk mendapatkannya. Waktu tiada pernah mundur kembali ke masa lalu. Penyuka yang menyimpan ketertarikan terhadap benda, gaya, estetika dari masa lampau yang hangat pun dingin. Atau apapun yang diasosiasikan padanya.

  • Bagikan

Exit mobile version