Sebagaimana Sastra, Seni Tidak Mungkin Kulit-kulitnya Saja

  • Bagikan
Muhammad Syarif Hidayatullah

Masyarakat kita sebagian menyukai ombak. Pun dari mana saja asalnya. Ombak dalam desir sungai-sungai, dan danau luas, pun muaranya laut yang memberinya keindahan dalam gulungan-gulungan air yang berasal darinya.

Pun ada yang menyukai laut saja dan di dalamnya. Kedalaman dan kesabaran menanggung apa saja bersemayam di sana.

Buah yang jatuh ke bawah saat dilemparkan ke atas. Atau saat siang hari terik, mereka yang duduk di bawah pohon asam menyadari buah asam yang jatuh dekat sekitar berteduhnya. Mereka menyukai fenomena gravitasi. Membuatnya takjub dan mempertanyakannya.

Ada pula seorang yang mencintai jam arloji, dipakainya, dikumpulkannya dan dipuja di hati kecilnya. Bahkan di gelap gulita.

Piringan hitam, ada pula yang menyukai bentuk dan suara yang dihasilkan olehnya. Memberi efek tenang, dan jika perlu mati bersamanya.

Adapula yang menyukai lelap. Situasi lelap membuatnya lebih enak, ketenangan. Sebab, melihat realita masa modern yang penuh citra, citra artifisial, membuatnya terjaga di dalam mimpi lelapnya.

Di sebagian yang lain, manusia menyukai pepohonan dan hutan. Memberi tenaga dan harapan, ketenangan, dan ciuman-ciuman alam yang dirasakannya.

Ada yang suka gelap dan malam. Seperti Majnun yang menyukai Layla. Do'a-do'a lebih jelas dipanjatkannya, suara lirih pun dapat didengar jelas di saat kegelapan malam. Lebih jauh, suka pada apa saja tentangnya.

Barangkali, puasa ini adalah sastra yang melaku; di dalam sabar lapar ada huruf-huruf yang mengisi perut dan di dalam surga ada sastra yang absolut-sempurna. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version