Memang, muruah pemerintah kadung jatuh. Kredibilitas pernyataan yang disampaikan secara lisan, bahkan yang didengungkan di depan rekaman dan jepretan media, kini tak lagi mudah ditelan mentah-mentah. Sudah amat sering publik terkecoh oleh sesuatu yang tidak berkesesuaian antara kata dan perbuatan. Bahkan muncul lelucon bahwa pernyataan itu “harus dibaca terbalik”.
Arus Gerakan mahasiswa yang hari ini menjadi harapan, bisa jadi benih terhadap repetisi sejarah pembaruan di negeri ini jika telinga dan mata kekuasaan tidak mau mendengar dan menyaksikan betapa sulitnya kehidupan rakyat di bawah. Betapa kemarahan rakyat telah menggumpal. Terakumulasi oleh kebijakan yang tak berpihak.
Bahkan urusan teknis pun tidak pernah bisa tuntas. Dari problem banjir produk impor yang memukul UMKM lokal, hingga minyak goreng langka dan mahal. Pemerintah bahkan mengakui tak berdaya di hadapan mafia.
Demikian pula harga BBM yang melambung dengan alasan relaksasi fiskal mengatasi pembengkakan subsidi. Ditimpali dengan pungutan pajak berbasis konsumsi dikerek dalam situasi daya beli yang terengah-engah. Situasi kebatinan serba sulit yang tengah dihadapi, membuat rasa sabar rakyat semakin menipis. Diperparah oleh perbincangan elit yang hanya berkutat pada soal jabatan.(*)