Sadriana mengaku sempat grogi, saat kelas perkuliahannya digabung dengan mahasiswa S3. Belum lagi peserta kelasnya berasal dari berbagai negara. “Dari semua kelas yang saya ikuti memang saya adalah mahasiswa yang termuda, sehingga dianggap adik dan bahkan banyak yang menganggap saya anak karena terpaut usia yang jauh,” ungkapnya.
Namun ia bisa mengubah tantangan tersebut menjadi peluang. “Keuntungan menjadi yang termuda adalah menjadi pusat perhatian teman satu kelas dan dosen, sehingga memudahkan untuk berinteraksi dan berdiskusi secara luas,” jelas Sadriana mengenang proses perkuliahan yang ia lalui di UTM.
Selain beradaptasi dengan suasana kelas, Sadriana juga mesti beradaptasi dengan budaya di Johor, Malaysia. “Yang cukup berat saya rasakan tentu jauh dari keluarga. Dulu waktu kuliah di Makassar, kalau rindu keluarga, bisa pulang kampus. Cukup 5 jam perjalanan,” pungkasnya.
Sadriana memilih tak larut dengan kesepian karena jauh dari keluarga. Ia berupaya memanfaatkan dengan baik lingkaran pertemanan yang luas untuk membuka cakrawala berpikir.
Ia juga tetap menyalurkan hobi berorganisasinya, meski di tengah kultur akademik yang cukup ketat. Sadriana sempat bergabung menjadi pengurus Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di UTM (2018-2019). Demikian pula komitmennya untuk senantiasa terlibat dalam kegiatan dakwah, membuatnya tetap terlibat sebagai pengurus Nasyiatul Aisyiyah Kuala Lumpur (2019-2021) dan Anggota Ikatan Muslim Johor (sejak 2019).
Beradaptasi dengan proses perkuliahan dan budaya setempat, bukan berarti tantangan telah berakhir. Tantangan terberat itu tiba, saat ia sedang menyelesaikan tesis.