Ia juga mengatakan, sejak awal pembelian tidak ada nama perusda yang terlibat. Murni dibeli dari developer Pulau Pandan Raya dan Pura Bumi Inti Nusantara.
"Saat beli tidak ada juga informasi dari pemerintah bahwa apakah bangunan itu dikerjasamakan dengan perseroda. Makanya kita anggap murni membeli dengan HGB. Dalam perjalanannya 10 tahun ini tiba-tiba ada iklan di media cetak meminta ruko-nya diperpanjang (2005). Jadi kami tidak tahu apa-apa kalau barang ini ada kaitannya dengan perseroda," jelas Niki.
Selanjutnya, akhirnya ada pertemuan yang dihadiri BPN, Biro Hukum Pemprov, Dirut Perusda dan beberapa notaris hadir, pada masa silam.
Dan stakeholder juga yang memutuskan harga untuk memperpanjang HGB sampai 2031 dengan harga Rp65 juta.
"Jadi perusda yang memperpanjang ruko itu. Sehingga surat yang masuk ke BPN ialah SK dari perusda," paparnya.
Pihaknya sedari awal pasti mempertanyakan perpanjangan itu. Apalagi membeli ruko dengan HGB bukan sewa-menyewa.
Sayangnya, disini warga sepenuhnya disalahkan. Padahal sebelum diperpanjang warga sudah kroscek ke pemprov.
"Kami disalahkan bahwa itu sewa menyewa padahal harga dan penetapan itu dilakukan oleh stakeholder. Kami minta kepada pak Gubernur yang kami cintai tolong tegur perseroda. Kalau bisa berikan hak kami sampai 2031. Jika perusda ada temuan LHP dari BPK, ya selesaikan secara internal," ucap dia.
Langkah Perseroda itu juga dipertanyakan, mengapa dirut lama tidak dipertanyakan.
"Kenapa warga yang dikejar? Daripada kejar status ruko, kejar dirut lama dulu. Makanya ada yang aneh. Tiap kali dirut lain, lain lagi persepsi. Kami capek dan kami sudah bersikap jadi tolong perusda gugat kami sesuai hukum," imbuhnya.