Bagi Nurdin, kisruh minyak goreng mengingatkannya pada kejadian serupa pada tahun 1998-1999 lalu. Saat itu harga minyak goreng melambung tinggi. Dari 3 ribu perliter naik menjadi Rp8 ribu per liter.
Saat itu, kata Nurdin, Bulog ditugaskan pemerintah menurunkan harga minyak goreng.
"Namun gagal total, sekalipun pemerintah sudah memberikan dana Rp600 miliar kepada Bulog," katanya.
Menyikapi situasi tersebut, Nurdin sebagai Ketum Dekopin mengatakan mengambil peran, memberikan ide dan gagasan bagaimana mengatasi kelangkaan minyak goreng.
Ia menawarkan, ide sederhana pada waktu itu, distribusi minyak goreng menggunakan jaringan usaha koperasi yang tersebar di seluruh tanah air.
"Ide itu saya sampaikan kepada Menteri Koperasi saat itu almarhum Adi Sasono, konsep itu disetujui oleh pemerintah dalam rapat kabinet terbatas yang dipimpin Menko Perekonomian Ginandjar Kartasasmita," kenang Nurdin.
"Sebuah konsep yang sederhana yang saya sampaikan pada saat itu bahwa harus merubah pola distribusi minyak goreng atau sistem penjualan. Pada saat itu Bulog melakukan dokumen distribusi atau lebih dikenal menjual DO," sambung Nurdin.
"Inilah yang saya ubah dari dokumen distribusi kepada phisical distribution, sehingga saya menyampaikan kepada teman induk induk koperasi untuk membentuk koperasi distribusi Indonesia atau KDI. Dirut KDI pertama Fauzan Mansur dari petinggi Bulog," ucap Nurdin.
Strategi KDI pada saat itu, kata Nurdin, pertama induk koperasi yang tergabung dalam jaringan menggerakkan jaringan koperasi di bawahnya.