Hadir pula pakar sejarah dunia yang konsen pada sejarah Sulawesi Selatan, Prof. Emeritus Campbell Macknight dari ANU (Australian National University). Campbell juga menggambarkan gagasannya tentang landskap agraris dan haluan politik Sulawesi Selatan yang bermula pada abad ke-13.
Kathryn Wellen mengungkapkan” situasi Belanda dan Makassar sudah hampir sama pada abad 17, yaitu sama-sama sebagai kota metropolitan. Bahkan sebelum Belanda menduduki Indonesia, Sulawesi sudah lebih dikenal di Nusantara dan Eropa, hal yg dpertegas Campbell, Minggu 14 Agustus di Hotel Claro Makassar.
Nama Makassar sendiri lanjut Kathryn sudah akrab didengar oleh para pedagang di Pelabuhan Gowa kala itu. Begitu juga di Sombaopu dan sekitar kawasan Maccini Sombala.
“Beberapa kapal juga sudah berlayar keluar dan sudah sering membincangkan nama Makassar. Perahu yang berlalu-lalang di Melaka tak luput membincangkan Makassar. Beberapa sumber Belanda tidak mengacu sumber tertentu, tapi semua sudah menyebut Makassar,” katanya.
Artinya peradaban di Makassar sudah begitu maju kala itu yang setara dengan Amaterdam. Hal ini tidak terlepas dari bagaimana kekayaan rempah-rempah di Sulawesi Selatan (Sulsel) membuat Makassar sebagai sebuah kerajaan besar yang semakin memliki nama yang kesohor di belahan dunia.
Ketua Umum Perwira, Muh. Sapri Pamulu, PhD., dalam sambutannya menyampaikan kegiatan Bincang Sejarah dan Budaya kali ini merupakan rangkaian perayaan hari Masyarakat Adat Dunia yang jatuh pada 9 Agustus lalu.
Lanjut, Sapri Andi Pamulu menyebut kalau kegiatan ini dilakukan sekaligus menyambut perayaan 17 Agustus, hari Kemerdekaan RI yang ke-77,” katanya. Selain itu kegiatan dimana mengundang sejumlah akademisi kampus ini juga bagian dari pemanasan untuk kegiatan pertemuan Wija Raja La Patau (Perwira LPMT) yang akan diadakan tahun depan di 2023 di Soppeng.