Mengenang Profesor Supriadi Hamdat

  • Bagikan
Prof Supriadi Hamdat.

Kurang lebih itu yang saya ingat. Syair itu semacam kerinduan seorang pelaut akan kekasihnya. Saat hujan dia kira itu air mata kekasihnya, dan saat angin berhembus ia juga itu pesan dari kekasihnya pula. Betapa dalamnya hati seorang pelaut yang rindu pada kekasihnya yang jauh darinya. Hidup di laut, terombang-ambing oleh ombak, membuat mereka berjiwa kuat tapi yang namanya perasaan itu tetaplah ada, rindu tetap rindu, dan itu semua diungkapkan pelaut Makassar dalam syair-syair yang pernah diceritakan Prof. Supriadi di kelas.

Pengalaman waktu meneliti juga mengingatkan pada sosoknya. Waktu studi S1 dulu saya pernah praktik meneliti di Takalar dan Pare-Pare. Dosen-dosenku di Unhas sangat senang mendampingi mahasiswa dalam studi etnografi. Saat itu, kita diminta untuk mewawancarai informan dan menjelaskannya. Singkatnya, jelaskan saja dari 7 unsur kebudayaan.

Prof. Supriadi adalah dosen yang berdedikasi. Ia pernah menjadi Ketua Departemen Antropologi FISIP Unhas dan Wakil Dekan II FISIP Unhas. Beberapa dosen kami pernah menjadi pejabat di FISIP, baik itu sebagai Wadek II, Wadek I, dan juga Dekan. Yang belum adalah jadi Rektor Unhas. Dari sosiologi sudah ada yang jadi rektor, Prof. Dwia Aries Tina Palubuhu.

Dalam riset, Prof. Supriadi menyelesaikan banyak karya dan beberapa diantaranya telah dimuat di jurnal internasional. Pada 2019, bersama M. Yamin Sani dan M. Basir, ia menulis etnografi sistem pengobatan tradisional masyarakat Kaili, Palu dan dimuat di European Journal of Research in Social Sciences.

  • Bagikan