2. Pendanaan wajib belajar disebut semakin jelas dalam pasal 8, 56 dan 57
Sebelumnya, satuan pendidikan negeri seringkali menghadapi masalah jika masyarakat ingin berkontribusi secara sukarela.
Namun, di RUU ini ditegaskan, pemerintah mendanai penyelenggaraan wajib belajar. Satuan pendidikan negeri tidak memungut biaya, namun masyarakat boleh berkontribusi secara sukarela, tanpa paksaan, dan tidak mengikat.
3. Nomenklaturnya satuan pendidikan dapat disesuaikan diatur bab IV
Sebelumnya, penamaan satuan pendidikan seperti sekolah dasar, madrasah ibtidaiyah, sekolah menengah pertama, madrasah tsanawiyah dan sebagainya ada di dalam UU Sisdiknas, sehingga nomenklatur yang ada tidak bisa diubah.
Namun, melalui RUU ini, sekolah, madrasah, pesantren dan satuan pendidikan keagamaan tingkat dasar dan menengah diatur sebagai bentuk satuan pendidikan tingkat dasar dan menengah dalam batang tubuh RUU.
Nomenklatur sekolah dasar, madrasah ibtidaiyah, sekolah menengah pertama, madrasah tsanawiyah, dan sebagainya menjadi contoh dalam penjelasan, sehingga pemerintah dapat menyesuaikan nomenklatur tersebut jika diperlukan.
4. Mobilitas pelajar pesantren formal dengan satuan pendidikan lain semakin mudah diatur pasal 11 ayat f
Sebelumnya, pesantren diatur secara terpisah dari sistem pendidikan nasional. Lulusan pesantren formal seringkali kesulitan jika ingin pindah ke satuan pendidikan lain di luar pesantren.
Dengan RUU ini, standar nasional pendidikan berlaku pada keseluruhan jalur pendidikan formal termasuk untuk pesantren formal.