Penggusuran Tanpa Surat Perintah Pengadilan, Pakar Hukum: Harus Jelas Mekanismenya

  • Bagikan
Peristiwa penggusuran Jalan Koptu Harun

FAJAR.CO.ID -- Warga Jalan Koptu Harun yang menjadi korban penggusuran oleh personel Satpol PP yang dikerahkan PT Sulsel Citra Indonesia (Perseroda) pada Selasa (30/8/2022) kemarin masih memilih untuk tetap tinggal.

Perseroda melakukan penggusuran dengan alasan penertiban. Setelah mengklaim tanah yang ditempati warga tersebut milik Pemprov. Meski begitu, pihak Perseroda tidak memiliki surat perintah dari pengadilan.

Terkait tentang hal itu, Pakar Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Rahman Syamsuddin mengatakan, harus jelas kepemilikan aset daerah tersebut dan di bawah kewenangan instansi apa.

"Jika terjadi peralihan ke perusda harus jelas mekanismenya. Hal ini merujuk pada peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2020 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 27 tahun 2014 tentang pengelolaan barang milik negara/daerah," ujar Rahman Syamsuddin kepada fajar.co.id (4/9/2022).

Lanjut Rahman, terkait penggusuran yang dilakukan, Pemerintah diwajibkan untuk melakukan pendaftaran dan sertifikasi asetnya berupa tanah berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.

"Tetapi dalam banyak kasus penggusuran, pemerintah kerap kali tidak dapat menunjukkan alas hak tersebut dikarenakan buruknya inventarisasi aset pemerintah," urainya.

Warga yang telah menduduki suatu tanah dengan itikad baik (rechtsverwerking), lanjut Rahman, salah satu contohnya, dapat dimaknai dengan membayar PBB selama minimal 20 tahun juga dilindungi ketentuan Pasal 1963 dan Pasal 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah.

  • Bagikan